Tak beralas kaki, baju dengan motif bunga merah membalut tubuhnya, celana krem dengan bekas lumpur di beberapa bagian, sama lusuhnya dengan bajunya. Ia turun perlahan di tebing yang cukup curam dan licin, tangannya berbalut kulit yang sudah mulai keriput berusaha menahan satu ikat besar bambu yang dijunjung di kepalanya agar tetap seimbang. Sorot matanya yang sudah mulai lemah memandangi kami yang sedang duduk menikmati kopi di pinggir danau. Senyumnya melebar dan menyapa kami. “Siang-siang begini memang enaknya berendam disini, airnya sangat dingin,” katanya sambil memperbaiki posisi jilbab hitam yang usah mulai pudar warnanya. Iya, disela menikmati birunya danau buatan yang dikelilingi rimbun pepohonan, mata saya tertuju pada seorang wanita tua yang dengan susah payah menuruni jalanan yang licin dengan membawa ikatan bambu di kepalanya. Satu ikat bambu berisi 5-6 bambu sebesar lengan orang dewasa. Ia sepertinya sadar saya perhatikan. Inak Karni namanya, ini dua kali semi