Matahari sudah
tak terlihat, hanya sisa semburat warna emas di sebelah barat. Sebagian besar
lampu taman sudah menyala. Di area taman permainan suara tawa anak-anak asyik
bercanda dengan orang tuanya. Hilir mudik kendaraan pun kian terasa ramai.
Klakson dan lengkingan peluit dari tukang parkir mulai terdengar.
Ya...,
saya sedang menikmati senja di Taman Sangkareang sekalian menunggu jadwal buka
lapak baca. Hari itu saya janji bertemu dengan salah seorang teman yang kukenal
lewat sosial media. Awalnya dia mengirimkan message di akun facebook saya
setelah membaca postingan tentang cerita seorang gay yang saya tulis
sebelumnya.
Tulisan
ini chapter kedua, awalnya saya tidak memilih tulisan ini, karena sudah ada
tulisan yang sebelumnya tapi karena "tokoh" di tulisan itu mendadak
keberatan dan tidak ingin dipublish akhirnya saya memutuskan untuk memposting
tulisan ini."
Di
postingan pertama, ratusan inbok di facebook dan instagram saya, sebagaian
besar isinya mendukung dan ada juga yang sedikit "mengancam".
Saya
tegaskan, saya tidak akan mempublish tulisan apabila tokohnya menyatakan
keengganan untuk ditulis. Tulisan ini tidak bermaksud menjudge, apalagi membuat masyarakat resah seperti ditulis salah satu
pembaca.
Murni
tulisan ini saya niatkan karena keinginan pribadi beberapa tokoh agar
masyarakat tidak terjerumus pada lubang yang sama, ini adalah kemauan para
tokoh agar pintu hati publik terketuk dan sadar, itu saja.
***
"halo
bang, aku sudah di Sangkareang nih, ketemu di dekat penjual cilok ya...? WA
darinya masuk ke hp saya, langsung kujawab “Siap, saya juga sudah di lokasi”.
Sebut
saja namanya, DA, mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di Mataram. Ia berasal
dari bagian tengah pulau Lombok. Ia datang sendiri hari itu. Berkaos warna
putih dengan karakter super hero, celana pendek dan sneaker merek kenamaan. Tubuhnya
tidak terlalu tinggi, berkulit putih dengan kumis tipis, parfum aroma maskulin
tercium.
Senyumnya
menyapa saat saya menghapirinya dan bersalaman. Saya mengucapkan terima kasih. Kami
memutuskan duduk di bangku pojokan, tepat di sebelah hotel. Di bangku samping,
sekelompok pengemudi ojek online berjaket hijau asyik bercanda.
"Akhirnya
ketemu juga bang, terima kasih ya sudah mau datang," sapanya sembari membuka
topi bertuliskan CAP.
"Saya
juga senang bisa bertemu, setelah beberapa minggu berkomunikasi hanya via WA,
bagaimana kuliah lancar,"? jawabku.
"Begitulah
bang, keasyikan kerja jadi lupa susun tugas akhir, hehehe....," jawabnya.
Ia memang bekerja di salah satu hotel di wilayah Senggigi.
Perbincangan
mulai serius saat saya menanyakan tentang orientasi seksnya. Beberapa pakar
berbeda pendapat orientasi seksual adalah sesuatu yang tetap dan akan tumbuh
seiiring dengan perkembangan waktu, tetapi ada juga pendapat yang berbeda yang
menyatakan orientasi seksual bisa berubah.
“Sebenarnya
saya juga punya pacar cewek bang, sudah tiga tahunan ini pacaran,” ucapnya. Tapi
saat ini aku juga sedang mencoba menjalani hubungan dengan seorang pacar, sebut
saja dia “KZ”. Sudah hampir satu tahunan tinggal bareng di kontrakan di wilayah
Cakranegara.
Dia
bekerja di hotel yang berbeda tapi biasanya pulang samaan kalau shift kerja
sama. Selain untuk menghemat juga karena kami mengontrak rumah bersama. Awalnya
biasa saja, tapi seringnya bertemu dan menghabiskan waktu bersama membuatku
mulai merasa suka sama dia, tambahnya.
Sejak kapan kamu merasa kalau memiliki rasa yang
berbeda?
Pandangannya
menerawang saat saya sedikit memaksa menjawab pertanyaanku. Sambil
menghembuskan asap ia melanjutkan ceritanya. Lingkungan kerja memaksaku untuk “memaklumi”
orientasi seks yang berbeda. Apalagi teman-temanku “nongkrong” sudah termasuk
yang terbuka mengenai hubungan mereka ungkapnya.
Orientasi
seksual dan isi hati memang kadang tidak sejalan. Lingkungan akan sangat
mempengaruhi.
Sebenarnya
aku tahu hal ini salah, hal ini diluar kodrat sebagai pria. Dan tidak mungkin
juga di terima di lingkungan. Aku sendiri membutuhkan keberanian diri untuk
berani mengakui kalau aku suka sesama. Awalnya aku menolak perasaan ini,
awalnya karena gengsi dan juga tidak mungkin bisa diterima oleh orang lain. Apalagi
lingkungan keluargaku yang sangat ketat, belum lagi dulu kos ku berada di
wilayah yang sangat kental dengan agama Islam, lanjutnya.
Aku
sudah tinggal bersama hampir satu tahun, jangan bertanya sudah berapa dosa yang
kami lakukan, ujarnya perlahan.
Ia
menghentikan obrolan, mengambil lagi sebatang rokok dan membakarnya.
“Saya
tidak memaksa kamu untuk melanjutkan cerita bro.. kapan kamu siap silahkan,”
ujarku mencoba menenangkan. Memang sejak agak intens membahas hal ini, nada
bicaranya menjadi pelan.
“Oke
bang, nanti kita ketemu lagi ya,” jawabnya. Sebenarnya saya mau mengajak pasanganku
tadi seperti janji kemarin. Tapi dia tidak mau, katanya masih belum siap. Ini saja
aku ketemu abang diam-diam.
Aku
sebenarnya sudah berniat untuk berhenti bekerja, kemudian menuntaskan tugas
akhir dan wisuda. Ibu sudah sedikit memaksa untuk menikah. Pacarku sudah sangat
dekat dengan ibu, tambahnya.
“Sebenarnya
aku bercerita ini agar ada teman untuk berbagi bang,” ujarnya.
Aku
juga tidak siap mendengar jawaban dari pacarku seandainya dia tahu pilihanku
untuk tinggal bareng sama “KZ”. Apalagi seandainya ibu tahu kelakuanku di
Mataram. Tidak bisa kubayangkan apa resposnya.
***
Saya
tertarik untuk mengetahui latar belakang keluarganya. Ia tak keberatan menceritakannya.
“Aku besar di keluarga yang menempatkan bapak
sebagai pengambil keputusan yang tidak bisa ditawar lagi,” ujarnya.
Aku
anak terakhir, semua saudaraku perempuan. Sebagai anak terkecil ibu memiliki
peran yang sangat besar. Jarang sekali bisa berbicara seperti anak dengan orang
tua kepada mamiq, tambahnya.
Di
rumah, apapun keputusan yang sudah diambilnya tidak ada yang boleh menolak. Termasuk
untuk urusan sekolah. Masa SMA saya jalani di sekolah yang berisi anak-anak
pilihan. Sekolah favorit katanya.
“Sebenarnya
saat itu aku lebih memilih masuk SMK, aku sedang sangat tertarik dengan
otomotif,” tambahnya. Tapi mamiq memaksa untuk masuk SMA favorit itu. Coba mamiq
masih hidup, tidak mungkin aku bisa kuliah jurusan sekarang, tambahnya.
***
Di
Mataram, kota yang memiliki motto religius dan berbudaya. Kemunculan komunitas
ini memang sering dianggap sebagai aib yang memalukan. Salah seorang pejabat
sempat mengontak saya untuk tidak terus menulis tentang hal ini karena akan
mencoreng nama baik kota Mataram. Haruskah?
Beberapa
orang sudah mulai berani menunjukkan eksistensi mereka. Beberapa waktu lalu
saya diundang hadir di acara ulang tahun salah satu teman di cafƩ di jalan
Udayana. Hampir sebagian besar yang hadir adalah pasangan gay. Mereka
mengakuinya saat saya berusaha menanyakannya. Dari puluhan undangan saya hanya
melihat enam orang perempuan.
Silahkan
jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, disana kita akan menemukan pasangan yang
sudah mulai berani menunjukkan diri. Jalan bergandengan tangan bahkan saling
menyuapi makanan. Tapi memang tidak seberani mereka yang tinggal di kota besar
lainnya.
***
Kalau dia pacaran dengan cewek kemungkinan dia biseks....kasihan ceweknya...dia harus jujur sama ceweknya supaya adil..Jangan sampai mereka menikah padahal dia ada main dengan laki-laki. Kalau misalnya hubungan sesama lelaki tidak aman dan dia menikah dengan cewek, si cewek bisa jadi korban.. kasihan sekali..coba kasih dia pertimbangan agar dia jujur sama ceweknya..
BalasHapusiyaa saya kasi masukan seperti itu, tapi pilihan kan ada di dia mbak :D, dia tahu mana pilihan yang terbaik, kata hatinya yang akan menuntunnya...
HapusMulai serem brarti Mataram ya š
BalasHapusNehh kok serem? dari zaman nabi Luth sudah ada mereka kan? jadi biasa saja... hanya perlu bijak menyikapinya...
HapusMulai serem brarti Mataram ya š
BalasHapusWah mulai rame ya...
BalasHapushehehhe rame gimana bro?? g juga kok heee
Hapushmmm
BalasHapus