Ceritanya dimulai di Phnom Penh, di mana Loung muda tinggal dengan nyaman dengan keluarga kelas menengahnya, yang setia kepada pemerintah yang berkuasa. Ayahnya adalah seorang kapten di kepolisian militer.
Film ini apik, bercerita dari sudut pândang seorang anak korban kekerasan dan perang. Hampir di semua adegan benar-benar menggambarkan apa yang dipahami oleh seorang anak.
Loung kecil dan keluarganya dipaksa untuk meninggalkan rumahnya di ibu kota. Dari sini kisah kelam dimulai. Dia mengetahui bahwa dia akan bekerja dalam pelayanan Angkar (nama untuk kepemimpinan Khmer Merah); menyerahkan barang pribadi (barang asing, khususnya, dipandang sebagai simbol imperialis); dan dipisahkan sedikit demi sedikit dari orang tuanya dan saudara kandungnya.Dikutip dari nytimes.com, film ini terinspirasi dari masa kecil Loung Ung pada masa kekuasaan Khmer Merah yang menguasai Phnom Penh saat ia berusia 5 tahun. Yup.. film ini dibuat berdasarkan buku karya aktivis HAM ini. Loung merupakan salah satu anak korban perang yang selamat selama kekuasaan rezim komunis ini dari tahun 1975-1979. Empat tahun berkuasa, rezim ini diyakini bertanggung jawab atas kematian 1,7 juta orang warga Kamboja akibat kelaparan, penyakit dan eksekusi.
Mimpi Revolusi Pol Pot
Pemerintahan di Kamboja dimulai dengan berkuasanya Norodom Sihanouk pada tahun 1955. Masa awal pemerintahannya tidak berjalan lancar oleh dua kekuatan besar yaitu oposisi kiri yang bernaung dibawah partai Parcheachon yang bersifat moderat dan oposisi kanan yang menguasai wilayah Vietnam selatan dan berbasis di Thailand. Pemerintahannya tidak berjalan lancar, banyak kebijakannya yang memicu terjadinya kerusuhan dan pemberontakan.
Tahun 1970, Lon Nol yang merupakan Perdana Menteri pada pemerintahannya melakukan kudeta. Masa ini merupakan periode paling buurt salam sejarah Kamboja, kudeta ini memicu terjadinya perang saudara. Suhu politik memanas. Lon Nol yang didukung Amerika Serikat bertekad bersikap tegas pada komunis Kamboja dan Vietnam. Hal ini dilakukan dengan serangkaian operasi militer ke basis-basis komunis yang tersebar di daerah pedesaan. Hal ini mengakibatkan korban jiwa yang tidak sedikit dan memicu kemarahan besar terhadap pemerintahannya. Sihanouk yang ingin membalas dendam atas kudeta terhadap dirinya kemudian bergabung dengan Khieu Samphan, Hou Yuon, dan Nu Him.
Pada 17 April 1975, Khmer merah dibawah pimpinan Pol Pot berhasil menggulingkan kekuasaan Lon Nol. Harapan baru bagi Kamboja untuk mencapai kedamaian dan mengakhiri perang saudara menjadi harapan penduduk kamboja. Tetapi yang terjadi sebaliknya. Kebijakan yang diambil Pol Pot adalah melalui Revolusi Agraria, yaitu membangun Kamboja dengan memanfaatkan pertanian.
Khmer merah memerintahkan seluruh penduduk lebih dari dua juta penduduk meninggalkan kota menuju pedesaan dalam rangka Revolusi Agraria untuk tinggal dan bekerja di pedesaan sebagai petani dikarenakan kota-kota besar dianggap sebagai basis dari kaum aristokrat dan penghambat revolusi. Periode ini merupakan periode yang cukup tragis, akibat kebijakan yang lebih menekankan pertanian dalam skala besar ini mengakibatkan banyak penduduk Kamboja yang meninggal akibat kelaparan dan kekejaman rezim Pol Pot.
Rezim periode 1975-1978 ini juga dikenal dengan Rezim Demokratik Kampuchea yang beranggapan bahwa Tuhan sudah mati dan partai akan memberikan segalanya untuk penduduk. Penduduk hanya dikondisikan untuk memikirkan partai. Mereka juga menberikan sugesti bahwa tidak ada yang terjadi di masa lalu dan mereka menyebut rezimnya sebagai “Tahun Nol”.
Para penduduk didera rasa ketakutan karena mereka selalu merasa disekitarnya adalah musuh yang sewaktu-waktu bisa merenggut nyawa mereka. Sejarah kelam kebrutalan rezim komunis yang berkuasa pada 1975-1979 itu belum bisa sepenuhnya dihapus dari ingatan rakyat Kamboja maupun dunia internasional. Sampai sekarang masih terdapat bukti dari kebiadaban rezim Pol Pot seperti di Kamp penyiksaan Tuol Sleng serta “ladang pembantaian” (killing field) Choeung Ek. Choeung Ek adalah ‘ladang pembantaian’ yang digunakan rezim Khmer Merah selama empat tahun, sebagai lokasi eksekusi orang-orang berpendidikan tinggi dari Phnom Penh. Sekitar 20.000 orang dieksekusi di situ.
Sebagian besar korban yang dieksekusi adalah pegawai pemerintahan, militer, dokter, pengacara, insinyur, guru, diplomat tinggi, serta kalangan profesional lain. Mereka yang dieksekusi umumnya pernah bekerja di bawah rezim Lon Nol, yakni pemerintah dukungan AS, tetapi dikenal sangat buruk dan korup. Tanpa pandang bulu, mereka yang diketahui punya ide dan pandangan politik berbeda dengan Pol Pot, ditangkap dan dieksekusi.
Penangkapan bahkan kerap terjadi pada orang yang hanya karena berpenampilan intelektual, antara lain dapat berbahasa asing, punya telapak tangan halus, berkaca mata, serta bermata pencarian bukan buruh, petani, atau pekerjaan-pekerjaan kasar lain. Choeung Ek, yang awalnya lokasi pemakaman warga Tionghoa, berada di kawasan seluas sekitar 2,5 hektare.
Sebetulnya, “ladang pembantaian” Choeung Ek berada di sebuah lahan terbuka yang sangat luas. Tetapi setelah dilakukan penggalian kuburan massal, Pemerintah Kamboja menetapkan bahwa ladang pembantaian itu berada di lokasi seluas 2,5 hektare. Setelah jatuhnya rezim Pol Pot pada 1979, ada 86 dari total 129 kuburan massal di Choeung Ek berhasil digali. Sebanyak 8.985 mayat ditemukan di lokasi kuburan massal tersebut.
source:
Komentar
Posting Komentar