‘Bagi beberapa orang
hidup itu adalah kutukan. Kelahiran saya adalah petaka yang paling kejam.’
_isi surat bunuh
diri Rohit Vemula_
indialivetoday.com |
Rohit Vemula, mahasiswa Hyderabad Central University dari kasta
terendah di India. Rohith yang sedang mengejar
gelar PhD di kampus yang terletak di India Selatan ini melakukan aksi bunuh
diri. Aksi itu dilakukan sebagai bentuk protes terhadap kebijakan kampus yang
yang memecatnya.
Ia adalah salah satu dari lima mahasiswa yang di skors
kampusnya. Mereka dituding melakukan penyerangan mahasiswa lain anggota Akhil
Bharatiya Vidyarthi Parishad (ABVP), salah satu organisasi mahasiswa underbow dari
partai yang berkuasa Bharatiya Janata Party.
Peristiwa
ini menjadi sorotan publik. Para mahasiswa dan anggota komunitas Dalit dari
seluruh negeri turun ke jalan menuntut pertanggungjawaban. Setelah protes
meluas, pemerintah kemudian memerintahkan penyelidikan atas masalah ini. Tapi
BJP menegaskan kalau kasus ini seharusnya tidak dilihat sebagai konflik kasta.
Hal ini
dibantah oleh Sukhdev Thorat, bekas Ketua Komisi Pendaan Universitas tersebut.
Ia hingga kini ada prasangka yang tertanam dalam terhadap Dalit di lembaga
pendidikan. Faktanya adalah mahasiswa Dalit mengalami berbagai bentuk
diskriminasi di perguruan tinggi. Bisa dari sesama mahasiswa, dosen, di dalam
kelas, atau dalam hal budaya. Dan semua ini mengarah kepada perpecahan yang
mendalam. Dan ketika politik masuk kedalamnya, maka dampaknya sangat buruk.
Unjuk rasa komunitas mahasiswa dan masyarakat Dalit. |
Apoorvanand,
profesor sosiologi di Universitas Delhi memimpin sebuah kajian kajian sosial
terhadap Dalit dan menemukan hasil yang agak menyedihkan.
Ia
mengungkapkan para Dalit dianggap sebagai ancaman dan menjadi subjek cemoohan
dan kecemburuan. Karena kini mereka menempati posisi-posisi yang sudah lama di
monopoli kasta yang lebih tinggi. Setelah perjuangan panjang dan melibatkan
kekerasan, Dalit akhirnya mendapat kuota dalam bidang pendidikan dan pekerjaan
pada 1990-an. Meski itu meningkatkan keterwakilan mereka, tapi tidak
serta merta mengangkat status sosial mereka.
Komunitas Untouchable
Komunitas Dalit, yang sebelumnya dikenal dengan Paria, telah
menjadi korban penindasan dalam masyarakat India selama ribuan tahun. Meski
sudah ada aturan yang melindungi orang Dalit dari diskriminasi, situasi di
lapangan tidak banyak berubah dalam tujuh dekade setelah India merdeka. Diskriminasi dan kekejaman terhadap kaum
Dalit kerap terjadi di India tapi sering tidak diakui.
Para wanita suku Dalit dan anaknya. Foto: dalitshangindia.org |
Dalit sendiri berarti rusak atau
broken people. Komunitas masyarakat ini merupakan kelompok di luar empat kasta
yang dikenal di India. Mereka tidak boleh berhubungan dengan kasta
manapun. Mereka terlahir sebagai manusia kotor, manusia setengah manusia.
Mereka bahkan tak boleh lewat di depan rumah para pemilik kasta. Apalagi
bersentuhan. Jika kebetulan bertemu di jalan, mereka harus menundukkan muka dan
menunggu sampai pemilik kasta melewatinya. Mereka harus bertransaksi dan
berjual beli di antara mereka sendiri. Mereka tak boleh memasuki candi.
Di India,
pembentukan kelas-kelas yang seringkali disebut kasta terbagi menjadi dua
konsep, yaitu Varna dan Jati. Konsep Varna merupakan konsep kelas yang membagi
masyarakat India menjadi Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra dan satu kelompok
masyarakat yang sering disebut “The Untouchables” atau
Dalit. Sedangkan Jati, merupakan kasta yang mengacu kepada kelahiran.
Pengelompokan
ini mendapatkan banyak perkembangan dengan adanya intervensi Inggris yang
melakukan kolonialisasi di India. Inggris membagi India berdasarkan kasta dan
memberikan perlakuan yang berbeda disetiap kastanya dalam bidang politik maupun
ekonomi. Dari kelima kasta tersebut, Kasta Brahmana, Ksatria, dan Waisya
memiliki kecenderungan sebagai Ruling Class,
sementara Kasta Sudra dan Kasta Dalit sebagai ruled class. Ironisnya, Kasta Dalit seringkali tidak dianggap
sebagai manusia dan diekslusi oleh kultur masyarakat India.
Diskriminasi tidak hanya ditunjukkan dengan sikap dan aturan. Untuk
tempat tinggal dan bermasyarakat pun mereka masih mengalaminya. Perkampungan
Dalit harus berjarak 500 meter dari perkampungan pemilik kasta. Dalam satu desa, perkampungan Dalit minimal
harus berjarak 500 meter dari perkampungan pemilik kasta. Mereka juga
dipekerjakan di sawah-sawah dan ladang pemilik kasta. Mereka bekerja tanpa
gaji. Mereka hanya memiliki hak mendapatkan jatah makan, jika ada sisa makanan
dari para tuan tanah. Itupun dengan cara dilemparkan dari dalam rumah atau dari
kejauhan.
Seorang
Dalit akan dianggap polutan, yang akan mengotori pemilik kasta. Meski begitu,
hidup mereka bergantung pada pemilik kasta. Mereka dipekerjakan untuk hal-hal
yang dianggap kotor; membersihkan dan membuang kotoran para manusia berkasta,
mencuci dan membersihkan jasad manusia berkasta dan bangkai binatang.
Namun, dalam relasi seksual terutama kaum perempuan terjadi
perbedaan. Bahkan hal ini menjadi bagian kepercayaan Hindu. Sebagian perempuan
Dalit akan didedikasikan menjadi seorang Devadasi.
Devadasi adalah
perempuan yang dipersembahkan untuk melengkapi ritual dan perayaan-perayaan
resmi dalam agama Hindu. Mereka akan menari dan menyanyi, sebagai bagian dari
upacara. Mereka adalah pelayan Tuhan, sebagaimana melekat dalam nama mereka,
Deva (Tuhan, dewa) Dasi (pelayan). Dan representasi dari Tuhan atau Dewa adalah
para Pendeta dan pemuka agama yang memiliki wewenang mengatur segala
kepentingan agama dan candi. Sebagai pelayan Tuhan, hidup dan aktivitas mereka
bergantung pada instruksi dan ketentuan yang diberikan para wakil Tuhan pada
mereka. (*)
Komentar
Posting Komentar