Pengertian partisipasi
politik adalah kegiatan warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan politik.[1] Partisipasi politik dilakukan orang dalam
posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun pegawai negeri dan sifat
partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun
partai yang berkuasa.[2]
Definisi partisipasi
politik yang cukup senada disampaikan oleh Silvia Bolgherini. Menurut
Bolgherini, partisipasi politik " ... a series of activities
related to political life, aimed at influencing public decisions in a more or
less direct way—legal, conventional, pacific, or contentious.[3] Bagi
Bolgherini, partisipasi politik adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan
kehidupan politik, yang ditujukan untuk memengaruhi pengambilan keputusan baik
secara langsung maupun tidak langsung -- dengan cara legal, konvensional,
damai, ataupun memaksa.
Studi klasik mengenai partisipasi politik diadakan oleh Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries. Lewat penelitian mereka, Huntington and Nelson memberikan suatu catatan: Partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Bolgherini yaitu bahwa dalam melakukan partisipasi politik, cara yang digunakan salah satunya yang bersifat paksaan (contentious). Bagi Huntington and Nelson, perbedaan partisipasi politik sukarela dan mobilisasi (diarahkan, senada dengan dipaksa) hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik.
Studi klasik mengenai partisipasi politik diadakan oleh Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries. Lewat penelitian mereka, Huntington and Nelson memberikan suatu catatan: Partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Bolgherini yaitu bahwa dalam melakukan partisipasi politik, cara yang digunakan salah satunya yang bersifat paksaan (contentious). Bagi Huntington and Nelson, perbedaan partisipasi politik sukarela dan mobilisasi (diarahkan, senada dengan dipaksa) hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik.
Ruang bagi partisipasi
politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai
perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi
politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan
di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara
dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang
ditunjukkan Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism:
New Media and Political Participation in Europe. [4] Warganegara di
negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi
tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan
(Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).
Landasan Partisipasi
Politik
Landasan partisipasi
politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan
partisipasi politik. Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik
ini menjadi: [5]
1. kelas – individu-individu
dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa.
2. kelompok atau komunal –
individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang
serupa.
3. lingkungan –
individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan.
4. partai – individu-individu
yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha
untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan
legislatif pemerintahan, dan
5. golongan atau faksi –
individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara
satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku
atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang
tidak sederajat.
Mode Partisipasi Politik
Mode partisipasi politik adalah tata cara orang
melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar: Conventional dan Unconventional. Conventional adalah
mode klasik partisipasi politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode
partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan
1950-an. Unconventional adalah mode partisipasi politik yang
tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements).
Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist),
gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students
protest), dan teror.
Bentuk Partisipasi Politik
Jika mode partisipasi politik bersumber pada
faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi
politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P.
Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:
1.
Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan pemberian
suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari
dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha
mempengaruhi hasil pemilu;
2.
Lobby – yaitu upaya perorangan atau kelompok
menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka
tentang suatu isu;
3.
Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi
individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi
pengambilan keputusan oleh pemerintah;
4.
Contacting – yaitu upaya individu atau kelompok
dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi
keputusan mereka, dan
5.
Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu
tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan
cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini
adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi
dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi
politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi
partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau
kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu,
penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi
politik adalah masuk ke dalam kajian ini.
Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson
belumlah relatif lengkap karena keduanya belum memasukkan bentuk-bentuk
partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik,
atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu. Misalnya,
Thomas M. Magstadt menyebutkan bentuk-bentuk partisipasi politik dapat
meliputi: (1) Opini publik; (2) Polling; (3) Pemilihan umum; dan (4)
Demokrasi langsung. [6] Opini publik adalah gagasan serta pandangan yang
diekspresikan oleh para pembayar pajak dan konstituen pemilu.
Opini Publik. Opini publik yang kuat dapat saja mendorong para legislator ataupun eksekutif politik mengubah pandangan mereka atas suatu isu. Opini publik ini mengejawantah dalam bentuk lain partisipasi politik selanjutnya, berupa polling, pemilihan umum, dan demokrasi langsung.
Polling. Polling adalah upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui polling inilah, partisipasi politik (menurut Magstadt) warganegara menemui manifestasinya. Di dalam polling, terdapat aneka konsep yang menjadi bagian di dalam dirinya yaitu: straw polls, random sampling, stratified sampling, exit polling, dan tracking polls.
Straw polls adalah survey yang tidak ilmiah karena bersifat sederhana, murah, dan amat terbuka untuk penyalahgunaan dan manipulasi. Straw polls dianggap tidak ilmiah karena tidak memertimbangkan representasi populasi yang menjadi responden polling. Penentuan responden bersifat serampangan, dan terkadang hanya menggunakan sampel yang hanya merupakan bagian tertentu dari populasi.
Random sampling adalah metode polling yang melibatkan canvassing atas populasi secara acak. Lawan dari random sampling adalah stratified sampling. Dalam teknik ini, disarankan jumlah minimal untuk suatu polling adalah 1500 orang apabila populasi yang diambil pendapatnya adalah besar. Pengambilan sampel acak harus bersifat lintas-segmen seperti usia, ras, agama, orientasi politik, pendidikan, dan faktor-faktor lain yang signifikan di suatu masyarakat. Lawan dari random sampling adalah stratified sampling. Metode ini adalah cara menentukan responden polling, yang diadakan akibat munculnya keterbatasan untuk melakukan random sampling. Dalam stratified sampling, pihak yang menyelenggarakan polling memilih populasi yang cukup kecil tetapi memiliki karakteristik khusus (agama, usia, income, afiliasi partai politik, dan sejenisnya).
Exit polling adalah polling yang memungkinkan jaringan televisi memrediksi pemenang suatu pemilihan umum segera setelah pemungutuan suara usai. Teknik yang dilakukan adalah menyurvei pemberi suara di tps-tps tertentu.
Tracking polls adalah polling yang dilakukan atas responden yang sama dalam suatu periode kampanye. Tujuannya mengidentifikasi peralihan sentimen pemilih atas suatu calon, partai, ataupun isu. Tujuan dari polling ini adalah memerbaiki kinerja kampanye calon, kampaye parpol, bahkan kinerja pemerintah.
Pemilihan Umum. Pemilihan umum (Pemilu) erat hubungannya dengan polling. Pemilu hakikatnya adalah polling "paling lengkap" karena menggunakan seluruh warga negara benar-benar punya hak pilih (tidak seperti polling yang menggunakan sampel). Untuk pembahasan lengkap mengenai Pemilu silakan klik link: http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/pemilihan-umum.html
Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung adalah suatu situasi di mana pemilih (konstituen) sekaligus menjadi legislator. Demokrasi langsung terdiri atas plebisit dan referendum. Plebisit adalah pengambilan suara oleh seluruh komunitas atas kebijakan publik dalam masalah tertentu. Misalnya, dalam kasus kenaikan harga BBM ketika parlemen mengalami deadlock dengan eksekutif, diambilah plebisit apakah naik atau tidak. Referendum adalah pemberian suara dengan mana warganegara dapat memutuskan suatu undang-undang. Misalnya, apakah undang-undang otonomi daerah perlu direvisi ataukah tidak, dan parlemen mengalami deadlock, dilakukanlah referendum.
Opini Publik. Opini publik yang kuat dapat saja mendorong para legislator ataupun eksekutif politik mengubah pandangan mereka atas suatu isu. Opini publik ini mengejawantah dalam bentuk lain partisipasi politik selanjutnya, berupa polling, pemilihan umum, dan demokrasi langsung.
Polling. Polling adalah upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui polling inilah, partisipasi politik (menurut Magstadt) warganegara menemui manifestasinya. Di dalam polling, terdapat aneka konsep yang menjadi bagian di dalam dirinya yaitu: straw polls, random sampling, stratified sampling, exit polling, dan tracking polls.
Straw polls adalah survey yang tidak ilmiah karena bersifat sederhana, murah, dan amat terbuka untuk penyalahgunaan dan manipulasi. Straw polls dianggap tidak ilmiah karena tidak memertimbangkan representasi populasi yang menjadi responden polling. Penentuan responden bersifat serampangan, dan terkadang hanya menggunakan sampel yang hanya merupakan bagian tertentu dari populasi.
Random sampling adalah metode polling yang melibatkan canvassing atas populasi secara acak. Lawan dari random sampling adalah stratified sampling. Dalam teknik ini, disarankan jumlah minimal untuk suatu polling adalah 1500 orang apabila populasi yang diambil pendapatnya adalah besar. Pengambilan sampel acak harus bersifat lintas-segmen seperti usia, ras, agama, orientasi politik, pendidikan, dan faktor-faktor lain yang signifikan di suatu masyarakat. Lawan dari random sampling adalah stratified sampling. Metode ini adalah cara menentukan responden polling, yang diadakan akibat munculnya keterbatasan untuk melakukan random sampling. Dalam stratified sampling, pihak yang menyelenggarakan polling memilih populasi yang cukup kecil tetapi memiliki karakteristik khusus (agama, usia, income, afiliasi partai politik, dan sejenisnya).
Exit polling adalah polling yang memungkinkan jaringan televisi memrediksi pemenang suatu pemilihan umum segera setelah pemungutuan suara usai. Teknik yang dilakukan adalah menyurvei pemberi suara di tps-tps tertentu.
Tracking polls adalah polling yang dilakukan atas responden yang sama dalam suatu periode kampanye. Tujuannya mengidentifikasi peralihan sentimen pemilih atas suatu calon, partai, ataupun isu. Tujuan dari polling ini adalah memerbaiki kinerja kampanye calon, kampaye parpol, bahkan kinerja pemerintah.
Pemilihan Umum. Pemilihan umum (Pemilu) erat hubungannya dengan polling. Pemilu hakikatnya adalah polling "paling lengkap" karena menggunakan seluruh warga negara benar-benar punya hak pilih (tidak seperti polling yang menggunakan sampel). Untuk pembahasan lengkap mengenai Pemilu silakan klik link: http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/pemilihan-umum.html
Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung adalah suatu situasi di mana pemilih (konstituen) sekaligus menjadi legislator. Demokrasi langsung terdiri atas plebisit dan referendum. Plebisit adalah pengambilan suara oleh seluruh komunitas atas kebijakan publik dalam masalah tertentu. Misalnya, dalam kasus kenaikan harga BBM ketika parlemen mengalami deadlock dengan eksekutif, diambilah plebisit apakah naik atau tidak. Referendum adalah pemberian suara dengan mana warganegara dapat memutuskan suatu undang-undang. Misalnya, apakah undang-undang otonomi daerah perlu direvisi ataukah tidak, dan parlemen mengalami deadlock, dilakukanlah referendum.
Dimensi Subyektif
Individu
Dimensi subyektif adalah
serangkaian faktor psikologis yang berpengaruh terhadap keputusan seseorang
untuk terlibat dalam partisipasi politik. Faktor-faktor ini cukup banyak, yang
untuk kepentingan tulisan ini hanya akan diajukan 2 jenis saja yaitu Political
Dissafection dan Political Efficacy.[7]
Political Disaffection. Political
Disaffection adalah istilah yang mengacu pada perilaku dan perasaan
negatif individu atau kelompok terhadap suatu sistem politik. Penyebab utama
dari political disaffection ini dihipotesiskan adalah media
massa, terutama televisi. Hipotesis tersebut diangkat dari kajian Michael J.
Robinson selama 1970-an yang mempopulerkan istilah “videomalaise”.[7]
Dengan banyaknya individu
menyaksikan acara televisi, utamanya berita-berita politik, mereka mengalami
keterasingan politik (political alienation). Keterasingan ini akibat
melemahnya dukungan terhadap struktur-struktur politik yang ada di sistem
politik seperti parlemen, kepresidenan, kehakiman, partai politik, dan lainnya.
Individu merasa bahwa struktur-struktur tersebut dianggap tidak lagi
memperhatikan kepentingan mereka. Wujud keterasingan ini muncul dalam bentuk
sinisme politik berupa protes-protes, demonstrasi-demonstrasi, dan huru-hara.
Jika tingkat political disaffection tinggi, maka para individu
atau kelompok cenderung memilih bentuk partisipasi yang sinis ini.
Political Efficacy. Political
Efficacy adalah istilah yang mengacu kepada perasaan bahwa tindakan
politik (partisipasi politik) seseorang dapat memiliki dampak terhadap
proses-proses politik. Keterlibatan individu atau kelompok dalam partisipasi
politik tidak bersifat pasti atau permanen melainkan berubah-ubah. Dapat saja
seseorang yang menggunakan hak-nya untuk memiliki di suatu periode, tidak
menggunakan hak tersebut pada periode lainnya. Secara teroretis, ikut atau
tidaknya individu atau kelompok ke dalam bentuk partisipasi politik bergantung
pada Political Efficacy ini.[8]
Pernyataan-pernyataan
sehubungan dengan masalah Political Efficacy ini adalah:
1. “Saya berpikir bahwa para
pejabat itu tidak cukup peduli dengan apa yang saya pikirkan.”
2. "Ikut mencoblos
dalam Pemilu adalah satu-satunya cara bagaimana orang seperti saya ini bisa
berkata sesuatu tentang bagaimana pemerintah itu bertindak.”
3. “Orang seperti saya tidak
bisa bicara apa-apa tentang bagaimana pemerintah itu sebaiknya.”
4. “Kadang masalah politik
dan pemerintahan terlalu rumit agar bisa dimengerti oleh orang seperti
saya.”
Political efficacy terbagi 2 yaitu external
political efficacy dan internal political efficacy.
[9] External political efficacy ditujukan kepada sistem
politik, pemerintah, atau negara dan diwakili oleh pernyataan nomor 1 dan 3.
Sementara internal political efficacy merupakan kemampuan
politik yang dirasakan di dalam diri individu, yang diwakili peryataan nomor 2
dan 4. Dari sisi stabilitas politik, sebagian peneliti ilmu politik menganggap
bahwa stabilitas politik akan lahir jika tingkat internal political
efficacy rendah dan tingkat external political efficacy tinggi.
----------------------------------------------------
Referensi
1. Samuel P. Huntington dan
Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1990) h. 9-10.
2. Ibid.
3. Silvia Bolgherini, "Participation"
dalam Mauro Calise and Theodore J. Lowi, Hyperpolitics: An
Interactive Dictionary of Political Science Concept (Chicago: The
University of Chicago, 2010) p. 169.
4. Oscar Garcia
Luengo, E-Activism New Media and Political Participation in Europe,
(CONFines 2/4 agosto-diciembre 2006)
5. Samuel P. Huntington dan
Joan Nelson, Partisipasi ... op.cit.
6. Thomas M. Magstadt, Understanding
Politics (Belmont: Cengage Learning, 2012) pp. 273-82.
7. Christina Holtz-Bacha, Political
Disaffection, dalam dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia
of Political Communication, (California : Sage Publications, 2008)
p.577-9.
8. Jan W. van Deth, Political
Participation, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia
..., ibid., p.531-2.
9. Kai Arzheimer, Political
Efficacy, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha,Encyclopedia
..., ibid., p.531-2. p. 579-80.
Source: http://setabasri01.blogspot.co.id/2009/02/partisipasi-politik.html
Komentar
Posting Komentar