INISIASI
6
Demokrasi
dan HAM
Oleh
FR Wulandari, M. Si
FR Wulandari, M. Si
Istilah demokrasi sudah merupakan kata yang merakyat dan membumi, sehinga cakupannya menjadi luas dan digunakan bukan saja menunjuk pada politik praktis melainkan seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok masyarakat.
Misalnya Demokrasi
Ekonomi, Demokrasi Sosial. Pada awalnya, istilah demokrasi ini merupakan kata
yang berasal dari Latin yaitu, “demos” dan “cratein atau cratos” ; dimana demos
berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan cratein berarti kekuasaan atau kedaulatan.
Intinya rakyat yang berkuasa, atau pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat.
Sejarah
perkembangan demokrasi dimulai dari zaman Yunani Romawi kuno (500 SM – 476 M),
kemudian zaman abad pertengahan dari (476 M - 1500 M) dan zaman modern (1500 M
– sekarang) dimana tiap masa memiliki rumusan demokrasi yang kontekstual,
sesuai situasi kondisi yang ada pada zamannya masing-masing. Pada zaman modern
istilah demokrasi dirumuskan oleh Abraham Lincoln, dimana konsep demokrasi
didorong oleh menyebarnya paham kebebasan di Amerika Serikat yang mempengaruhi
Revolusi Perancis dan dirumuskan sebagai Egalite (Persamaan), Fraternite
(Persaudaraan) dan Liberte (Kemerdekaan).
Kemudian dari
belahan dunia timur, Dr. Sun Yat Sen mengenalkan istilah Demokrasi dengan
istilah Min Chuan.
Perkembangan demokrasi pada abad XIX lebih menekankan pada bidang hukum karena dominan pengaruh hak-hak individu.
Perkembangan demokrasi pada abad XIX lebih menekankan pada bidang hukum karena dominan pengaruh hak-hak individu.
Negara dan
pemerintah tidak banyak turut campur dalam urusan warganya, kecuali berkaitan
dengan kepentingan umum. Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang sedikit
memerintah. Negara seperti penjaga malam. Konsep laisses faire laisses aller
berpeluang mandiri, tetapi juga berpeluang menuju penindasan atas sesama.
Wajah baru
demokrasi abad XX berangkat dari pengalaman abad XIX tersebut.
Negara dan pemerintah berperan luas. Penjaga malam tidak hanya bertugas secara
pasif tetapi berperan aktif dalam mengatur kehidupan dan bertanggung jawab atas
kesejahteraan masyarakat.
Adapun
karakteristik demokrasi universal, antara lain : (1) kehidupan masyarakat
dimana warganegaranya berperan serta dalam pemerintahan melalui wakilnya yang
dipilih; (2) pemerintahan yang menjamin kemerdekaan berbicara, beragama,
berpendapat, berserikat, menegakkan ; (3) pemerintahan mayoritas yang menghormati
hak-hak kelompok minoritas; (4) masyarakat yang saling memberi perlakuan yang
sama kepada seluruh warganegaranya. Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa
fokus wacana demokrasi adalah rakyat. Oleh Pabottinggi (2002), menegaskan bahwa
demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berparadigma otocentricity dan
demokrasi sebagai pelembagaan dari kebebasan. Artinya, rakyat yang menjadi
kriteria dasar demokrasi.
Praktik demokrasi
di Indonesia sebenarnya sudah lama dilaksanakan. Praktik musyawarah mufakat
merupakan bagian integral dari demokrasi. Sejak kemerdekaan Indonesia 1945
sampai tahun 1959 Indonesia melaksanakan demokrasi parlementer dalam
pemerintahan, kemudian melaksanakan demokrasi terpimpin dalam kurun waktu 1959-1965, dan sejak
runtuhnya rezim orde lama digantikan dengan orde baru melaksanakan demokrasi
Pancasila sampai sekarang. Gejala dalam demokrasi parlementer pemerintahan
tidak stabil karena kuatnya peranan partai politik dan pembangunan terhambat.
Dalam demokrasi terpimpin kuatnya peranan presiden sebagai pusat kekuasaan dan
melemahnya kekuatan partai politik. Begitu pula dalam demokrasi Pancasila di
zaman orde baru dominasi eksekutif masih tetap kuat ,parlemen seolah olah
merupakan subordinasi dari eksekutif. Perbaikan terus dilakukan sejalan dengan
pergantian orde baru dengan orde reformasi. UU Dasar diamandemen, MPR terdiri
atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih langsung oleh rakyat, begitu juga
presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Adapun CICED (1998)
sebagai Center for Indonesia Civic Education, menjabarkan demokrasi sebagai
dimensi yang multidimensional, yaitu (a) secara filosofis, demokrasi sebagai
ide, norma, dan prinsip; (b) secara sosiologis sebagai sistem sosial, dan (c)
secara psikologis sebagai wawasan prilaku individu dalam bermasyarakat. Sebab,
CICED merumuskan demokrasi sebagai kerangka berpikir dalam melakukan pengaturan
urusan umum atas dasar prinsip : dari, oleh dan untuk rakyat, yang diterima
sebagai ide, norma, dan sistem sosial maupun sebagai wawasan, prilaku dan sikap
individul yang secara kontekstual diwujudkan, dikembangkan dan dipelihara.
Pilar universal demokrasi sebagai suatu sistem sosial kenegaraan terdiri dari 11 pilar (USIS:1995). Antara lain, (1) kedaulatan rakyat; (2) pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; (3) kekuasaan mayoritas; (4) hak-hak minoritas; (5) jaminan hak-hak asasi manusia; (6) pemilihan yang bebas dan jujur; (7) persamaan di depan hukum; (8) proses hukum yang wajar; (9) pembatasan pemerintahan secara konstitusional; (10) pluralisme sosial, ekonomi, politik dan nilai-nilai toleransi, pragmatisme; (11) kerjasama dan mufakat. Sedangkan menurut Sanusi (1998;4-12), demokrasi konstitusional menurut UUD’45 memiliki 10 pilar, yaitu (1) demokrasi yang berKetuhanan YME; (2) demokrasi dengan kecerdasan; (3) demokrasi dengan rule of law; (4) demokrasi dengan pembagian kekuasaaan; (5) demokrasi hak asasi manusia; (6) demokrasipengadilan yang merdeka; (7) demokrasi dengan otonomi daerah; (8) demokrasidengan kemakmuran; (9) demokrasi yang berkeadilan sosial.
Sehingga yang membedakan pilar demokrasi universal dengan demokrasi Indonesia adalah pilar demokrasi yang berKetuhanan YME. Ciri demokrasi Indonesia yang khas tersebut, menurut Elposito dan Voll telah dinyatakan oleh Maududi dan kaum muslim sebagai teodemokrasi, yang berarti demikrasi Indonesia bernuansa KeTuhanan YME, sedangkan demokrasi universal bernuansa sekuler. Demokrasi dapat juga dikaji dari 3 tradisi pemikiran politik. Menurut Torres, 3 tradisi pemikiran politik itu, antara lain : (a) Classical Aristotelian Theory; (b) Medieval Theory; (3) Contemporaray Doctrine. Berdasarkan Classical Aristotelian Theory, demokrasi diartikan sebagai pemerintahan seluruh warganegara yang memenuhi syarat kewarganegaraan. Adapun Medieval Theory menekankan penerapan Roman Law dan popular sovereignity, sehingga demokrasi diartikan sebagai suatu landasan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Lain lagi dengan Contemporary Doctrine yang menekankan konsep Republican maka demokrasi disini diartikan sebagai bentuk pemerintahan yang murni.
Pilar universal demokrasi sebagai suatu sistem sosial kenegaraan terdiri dari 11 pilar (USIS:1995). Antara lain, (1) kedaulatan rakyat; (2) pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; (3) kekuasaan mayoritas; (4) hak-hak minoritas; (5) jaminan hak-hak asasi manusia; (6) pemilihan yang bebas dan jujur; (7) persamaan di depan hukum; (8) proses hukum yang wajar; (9) pembatasan pemerintahan secara konstitusional; (10) pluralisme sosial, ekonomi, politik dan nilai-nilai toleransi, pragmatisme; (11) kerjasama dan mufakat. Sedangkan menurut Sanusi (1998;4-12), demokrasi konstitusional menurut UUD’45 memiliki 10 pilar, yaitu (1) demokrasi yang berKetuhanan YME; (2) demokrasi dengan kecerdasan; (3) demokrasi dengan rule of law; (4) demokrasi dengan pembagian kekuasaaan; (5) demokrasi hak asasi manusia; (6) demokrasipengadilan yang merdeka; (7) demokrasi dengan otonomi daerah; (8) demokrasidengan kemakmuran; (9) demokrasi yang berkeadilan sosial.
Sehingga yang membedakan pilar demokrasi universal dengan demokrasi Indonesia adalah pilar demokrasi yang berKetuhanan YME. Ciri demokrasi Indonesia yang khas tersebut, menurut Elposito dan Voll telah dinyatakan oleh Maududi dan kaum muslim sebagai teodemokrasi, yang berarti demikrasi Indonesia bernuansa KeTuhanan YME, sedangkan demokrasi universal bernuansa sekuler. Demokrasi dapat juga dikaji dari 3 tradisi pemikiran politik. Menurut Torres, 3 tradisi pemikiran politik itu, antara lain : (a) Classical Aristotelian Theory; (b) Medieval Theory; (3) Contemporaray Doctrine. Berdasarkan Classical Aristotelian Theory, demokrasi diartikan sebagai pemerintahan seluruh warganegara yang memenuhi syarat kewarganegaraan. Adapun Medieval Theory menekankan penerapan Roman Law dan popular sovereignity, sehingga demokrasi diartikan sebagai suatu landasan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Lain lagi dengan Contemporary Doctrine yang menekankan konsep Republican maka demokrasi disini diartikan sebagai bentuk pemerintahan yang murni.
Lebih jelas lagi,
Torres memandang demokrasi dari 2 aspek, yakni sebagai formal democracy dan
substantive democracy. Dari aspek formal democracy yang dilihat adalah
demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan. Kemudian dari aspek substantive
democracy yang dilihat adalah proses demokrasi, yang diklasifikasikan dalam
empat bentuk demokrasi. Antara lain : (1) protective democracy menitik beratkan
kepada kekuasaan ekonomi pasar, sehingga proses pemilu dilakukan reguler untuk
memajukan kegiatan pasar dan melindunginya dari tirani negara; (2)
developmental democracy memandang manusia sebagai makhluk yang dapat
mengembangkan kemampuan dan kekuasaan dirinya, serta menempatkan partisipasi
demokratis sebagai jalur utama bagi pengembangan diri; (3) equilibrium
democracy atau pluralist democracy menekankan penyeimbangan nilai partisipasi
daan pentingnya apatisme, sebab apatisme di kalangan mayoritas warganegara
menjadi fungsional bagi demokrasi. Partisipasi yang intensif dipandang tidak
efisien bagi individu yang rasional ; (4) participatory democracy menekankan
bahwa perubahan sosial dan partisipasi demokratis perlu dikembangkan secara
bersamaan karena satu sama lain saling memiliki ketergantungan.
Oleh sebab itu
perlu diadakan pendidikan tentang demokrasi dengan wahananya yaitu pendidikan
kewarganegaraan, sebab ethos demokrasi bukan suatu warisan tetapi sebagai suatu
konsep yang harus dipelajari dan dialami atau diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Sebenarnya proses demokrasi tidak hanya merupakan suatu proses
yang berkembang pesat di negara-negara barat yang mayoritas penduduknya
beragama kristen seperti yang telah dipersepsikan oleh Huntington (1991).
Tetapi sesungguhnya proses demokratisasi melanda hampir seluruh negara di dunia
termasuk di negara-negara muslim seperti yang dikemukakan oleh Esposito dan
Voll (1996) dengan studi komparatif demokrasi di Iran, Sudan, Pakistan,
Malaysia, Aljazair dan Mesir. Menurut Esposito dan Voll (1996 : 11) kebangkitan
Islam dan demokratisasi di dunia muslim berlangsung dalam kontek global dinamis
dan kedua proses tersebut saling mengisi. Demokratisasi di dunia muslim
menekankan (1) hanya satu kedaulatan yakni Tuhan, (2) khilafah sebagai bentuk
kepemimpinan politik masyarakat, (3) syura sebagai tradisi musyawarah, (4)
ij’ma sebagai bentuk persetujuan dan (5) ijtihad sebagai bentuk penafsiran
mandiri. Sehingga proses demokrasi tidak selalu dapat diukur dari kriteria
demokrasi barat tetapi dilihat secara kontektual menurut perkembangan situasi sosial
kultural setempat.
Menurut Deutsh dan Lipset (1950s dalam Denny, 1999 : 1-2) faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan demokrasi adalah tingkat perkembangan ekonomi suatu negara ; terbukanya media massa urbanisasi, pendidikan dan persatuan kesatuan bangsa-bangsa ; serta pengalaman sejarah dan budaya kewarganegaraan. Ketiga faktor tersebut menjadi parameter perkembangan demokrasi suatu negara, hal ini dikemukakan oleh Bahmuller (1996 : 222 – 223). Konsep masyarakat madani di Indonesia yang diterjemahkan dari istilah Civil Society berhubungan erat dengan proses demokratisasi sehubungan dengan perluasan fungsi dan optimalisasi peran aktif dari warga negara secara cerdas dan baik untuk membangun masyarakat yang benar-benar demokratis sesuai konteks negaranya. Menurut Hikam, ciri utama masyarakat madani adalah kesukarelaan, keswasembadaan, kemandirian tinggi terhadap negara, keterkaitan terhadap nilai-nilai hukum yang disepakati bersama.
Menurut Deutsh dan Lipset (1950s dalam Denny, 1999 : 1-2) faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan demokrasi adalah tingkat perkembangan ekonomi suatu negara ; terbukanya media massa urbanisasi, pendidikan dan persatuan kesatuan bangsa-bangsa ; serta pengalaman sejarah dan budaya kewarganegaraan. Ketiga faktor tersebut menjadi parameter perkembangan demokrasi suatu negara, hal ini dikemukakan oleh Bahmuller (1996 : 222 – 223). Konsep masyarakat madani di Indonesia yang diterjemahkan dari istilah Civil Society berhubungan erat dengan proses demokratisasi sehubungan dengan perluasan fungsi dan optimalisasi peran aktif dari warga negara secara cerdas dan baik untuk membangun masyarakat yang benar-benar demokratis sesuai konteks negaranya. Menurut Hikam, ciri utama masyarakat madani adalah kesukarelaan, keswasembadaan, kemandirian tinggi terhadap negara, keterkaitan terhadap nilai-nilai hukum yang disepakati bersama.
Secara kualitatif
masyarakat madani Indonesia ditandai oleh (a) ketaqwaan kepada Tuhan YME, (b)
adanya jaminan hak azasi manusia, (c) adanya partisipasi luas warga negara
dalam pengambilan keputusan publik dalam berbagai tingkatan, (d) adanya
penegakan rule of law dan (e) adanya pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan
demokrasi dapat dilakukan dalam pendidikan formal, informal dan non formal,
sesuai visi pendidikan demokrasi yaitu learning democracy, through democracy,
and for democracy atau secara jelas dijabarkan sebagai wahana substantif,
pedagogis dan sosio kultural untuk membangun cita-cita, nilai, konsep, prinsip,
sikap dan ketrampilan demokrasi bagi warganegara melalui pengalaman hidup
berdemokrasi. Misi pendidikan demokrasi adalah :
(1) memfasilitasi
warganegara untuk mendapatkan berbagai akses dan memakai secara cerdas berbagai
sumber informasi;
(2) memfasilitasi
warganegara melakukan kajian konseptual dan operasional secara cermat dan
bertanggungjawab terhadap berbagai cita-cita, instrumentasi dan praksis
demokrasi untuk mendapatkan keyakinan dalam pengambilan keputusan individual
ataupun kelompok.
Praksis politik
diartikan sebagai perwujudan konsep, prinsip dan nilai demokrasi yang
melibatkan individu dan masyarakat dengan keseluruhan aspek lingkungannya.
(3) memfasilitasi warganegara untuk memperoleh
kesempatan berpartisipasi secara cerdas dan bertanggungjawab dalam praksis
kehidupan demokrasi di lingkungannya. Untuk itu strategi dasar pendidikan
demokrasi adalah pemanfaatan multimedia dan sumber belajar, kajian
interdisipliner, pemecahan masalah sosial, penelitian sosial, aksi sosial,
pembelajaran berbasis portfolio, pembelajaran yang kukuh atau powerful learning
(meaningful, integrative, value-based, challenging and active).
Model pendidikan
demokrasi berbasis portfolio versi Dewey diartikan sebagai model pembelajaran
yang menggunakan tampilan visual dan audio yang disusun secara sistematis yang
melukiskan proses berpikir yang didukung sejumlah data yang relevan, yang
melukiskan secara utuh pengalaman belajar demokrasi terpadu yang dialami siswa
dalam kelas sebagai suatu kesatuan.
Di dalam model ini,
ada simulasi public hearing kemudian dilanjutkan kegiatan refleksi bagi
individu dan keseluruhan siswa untuk merenungkan dampak perjalanan panjang
proses belajar demokrasi bagi perkembangan pribadi siswa sebagai warganegara.
Adapun untuk perguruan tinggi, menurut Udin S. Winataputra ( 2002: 35) model
pendidikan demokrasi dikembangkan sesuai paradigma pendekatan perluasan
lingkungan dan meningkatkan tingkat kompetensi mahasiswa ke higher-order
intellectual abilities..
Demikian pengayaan
tentang demokrasi. Pada dewasa ini, krisis kepemimpinan menjadi salah satu
penyebab kemerosotan pembangunan dan kehidupan sosial politik bangsa-bangsa di
dunia, termasuk Indonesia. Sedemikian besarnya krisis kepercayaan terhadap pemimpin,
telah menyebabkan pergeseran persepsi masyarakat tentang figur ideal pemimpin
bangsanya, contohnya di Amerika Serikat yang dulu sangat mengidolakan presiden
dari kaum kulit putih, kini mulai melirik dari ras kulit berwarna yang ditandai
dengan majunya Obama sebagai capres.
Masyarakat sudah
mulai bosan dengan dinamika politik yang mengedepankan kekerasan dalam
menyelesaikan masalah. Demikian pula bagi masyarakat dan bangsa Indonesia yang
kini mulai melirik capres atau cabup, cagub dari kalangan bukan elit politik
yang dianggap rentan terhadap penyalahgunaan wewenang dan ingkar janji.
Lebih-lebih dengan
banykanya kasus KKN yang terkuak pada lembaga-lembaga tinggi negara seperti
DPR, Kejaksaan Agung, Departemen Kehakiman dan lainnya.
Tawuran antarmahasiswa sebagai kaum intelektual muda Indonesia juga merefleksikan kurangnya keteladanan figur pemimpin dalam keluarga, masyarakat, bangsa and negara.
Tawuran antarmahasiswa sebagai kaum intelektual muda Indonesia juga merefleksikan kurangnya keteladanan figur pemimpin dalam keluarga, masyarakat, bangsa and negara.
Perhatikan berita
di media massa yang memperlihatkan lemahnya control sosial bahkan di kampus
sekalipun, sehingga tawuran antarmahasiswa sering terjadi yangn dibarengi
dengan tindakan melanggar hukum dan mengganggu ketertiban umum, contohnya
adanya pemakian narkoba dari jenis ganja sampai sabu, kepemilikan senjata tajam
illegal baik dari senjata rakitan sampai yang pabrikan.
Sungguh ironis,
terjadi dalam negara yang dulu merdeka karena luapan motivasi untuk merdeka
dalam diri rakyatnya yang didorong oleh semangat juang pemuda sebagai trigger
nilai juang yang pantang menyerah melakukan perubahan ke arah kebaikan;
sekarang dikotori oleh pikiran divide et impera akibat perbedaan kelompok dan
kepentingan. Padahal jika perbedaan kelompok dan kepentingan dijadikan kekayaan
mental, pemikiran dan kolaborasi kepentingan yang saling menguatkan and
melayani, kehidupan bermasyarakat, berbangsa and bernegara akan berlangsung
indah dan harmoni.
DAFTAR PUSTAKA
Budhisantosa, S.,
(2002) Pancasila dan Kebangsaan dalam Masyarakat Majemuk dengan Keanekaragaman
Kebudayaan. Yogyakarta : DIKTI (makalah).
Winataputra, Udin
S., Demokrasi dan Pendidikan Demokrasi. Yogyakarta: DIKTI.
Amin, Zainul I. (2007)MKDU4111 Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: UT
Amin, Zainul I. (2007)MKDU4111 Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: UT
Komentar
Posting Komentar