1). Jelaskan pandangan saudara tentang
kontribusi agama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa!
Jawab:
Agama Islam memberikan tuntunan dan petunjuk
jelas dalam rangka mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Manusia diciptakan
dengan sifat yang berbeda, dan dijadikan tidak bisa hidup secara individu. Dan
Alloh SWT kemudian menjadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling
kenal mengenal. Untuk menyatukan hal tersebut, diperlukan salah satu poin utama
untuk menyatukan mereka yaitu, adanya seorang pemimpin yang menjadi terdepan
dalam merawat persatuan dan kesatuan. Di masa kekinian diejawantahkan dalam
kehidupan berpolitik dan bermasyarakat.
Di dalam Al-quran telah dijabarkan bahwa
kehidupan politik harus didasarkan pada empat pokok yaitu:
1. Bagian dari melaksanakan amanat.
2. Untuk menegakkan hukum dengan adil.
3. Berada dalam nilai yang menjalankan ketaatan
kepada Allah, RasulNya, dan Ulil Amri (Pemimpin)
4. Menjadikan Al-quran dan Sunnah Nabi SAW
sebagai pijakan utama.
Islam juga mengajarkan bagaimana seharusnya
sifat orang yang harus dijadikan dasar memilih dan menjadikan sesorang pemimpin
yang akan diberikan kekuasaan politik. Yaitu:
1. Sosok yang benar dalam pikiran, ucapan,
dan tindakannya serta jujur.
2. Seorang yang amanah.
3. Memiliki keterampilan dalam komunikasi.
4. Cerdas.
5. Mampu menjadi teladan dalam kebaikan.
2). Di antara prinsip-prinsip yang diajarkan
oleh Al-quran untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa adalah prinsip
persamaan, persatuan dan tolong-menolong. Jelaskan maksud masing-masing prinsip
tersebut!
Al-Quran menggambarkan persatuan dari
berbagai sisi. Pertama, Al-Quran mengisyaratkan bahwa kecenderungan untuk
bersatu, merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensi manusia.
Sejak umat pertama tercipta dan menghuni dunia, saat itu pula keinginan untuk
bersatu muncul. Manusia, dengan tujuan untuk melangsungkan kehidupan serta
mengurangi berbagai kesulitan, saling membantu antara satu dengan yang lainnya.
Tetapi, karena berbagai faktor terjadilah
pertikaian dan peperangan. Kedua, Al-Quran menjelaskan bahwa salah satu tugas
kenabian adalah meluruskan perselisihan yang terjadi di tengah umat serta
mengembalikannya kepada seruan Al-Quran. Ketiga, Quran menyebutkan tentang
dampak dan pengaruh persatuan. Misalnya, dengan persatuan, umat Islam akan mencapai
kemenangan serta kemuliaan. Selain itu, masih banyak sisi-sisi lainnya yang
dijelaskan dalam Al-Quran. Dengan terciptanya persatuan maka kemenangan dan
kemuliaan umat Islam akan tercipta sebagaimana yang digambarkan dalam Al-Quran.
Oleh sebab itu tidak ada alasan bagi kita untuk tidak melakukan persatuan,
sebab ancaman yang akan menghancurkan umat Islam sudah didepan mata.
Prinsip
Tolong Menolong
Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa
Rasulullah SAW bersabda, ''Dunia ini hanya untuk empat golongan manusia: (satu
di antaranya) hamba Allah yang mendapat harta dan ilmu, lalu ia bertakwa kepada
Allah dalam mengelola hartanya tersebut, dan menyambung silaturahim, dan ia
sadar bahwa hartanya itu adalah hak Allah. Itulah kedudukan yang paling baik
(bagi seorang hamba Allah).''
Islam mengajarkan bahwa harta dan kekayaan
mengandung fungsi sosial dan merupakan sumber kehidupan bagi anggota masyarakat
lainnya. Dalam rangka menegakkan dasar-dasar kehidupan bersama serta mewujudkan
tatanan sosial dan ekonomi berkeadilan, maka sangat diperlukan semangat
tolong-menolong di antara seluruh lapisan masyarakat. Pujangga Islam A Hamid Al
Chatib berkata, ''Persaudaraan dalam Islam takkan berdiri kecuali dengan jalan
tolong-menolong.''
Tolong-menolong yang dimaksud di sini tiada
lain dalam konteks kebaikan dan ketakwaan kepada Tuhan. Sebaliknya, Islam
melarang tolong-menolong yang menjurus kepada dosa dan permusuhan.
Guru besar Universitas Al-Azhar, Kairo,
Mesir, Sayid Sabiq, ketika menjelaskan makna ayat Alquran surat Al-Hujurat ayat
10 “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu
bersaudara”, antara lain menulis, ''Arti persaudaraan di sini, yang kuat
melindungi yang lemah, yang kaya bersedia membantu yang miskin. Tidak ada arti
lain bagi persaudaraan yang dimaksudkan oleh Islam kecuali dengan kriteria di
atas.''
Dalam kaitan ini Islam menekankan pentingnya
perbuatan kedermawanan atau filantropi, yaitu kewajiban menunaikan zakat,
sedekah sunah, infak, wakaf, hibah, hadiah, serta wasiat. Infak, sedekah, dan
zakat saling terkait satu sama lain. Infak secara umum artinya pengeluaran. Ini
adalah konsep besarnya. Infak terbagi dua, yaitu infak wajib, terdiri atas
nafkah keluarga dan zakat, dan infak sunat, yaitu sedekah.
Dalam surat Al-Baqarah, kewajiban menafkahkan
harta di jalan kebajikan dinyatakan setelah penegasan kebenaran Alquran,
keimanan kepada Allah dalam kegaiban, kewajiban menegakkan shalat, dan
diteruskan, ''wa mimma razaqnaahum yun fiquun (dan menafkahkan sebagian rezeki
yang Kami karuniakan).'' (Al-Baqarah: 3).
Allah SWT berfirman, ''Dan barang siapa
terpelihara dari kekikiran dirinya, maka merekalah orang-orang yang
beruntung.'' (Al-Hasyar: 9).
3). Musyawarah adalah salah satu cara
yang sangat dianjurkan oleh agama Islam dalam memecahkan masalah yang timbul
dalam masyarakat. Bagaimana pandangan Islam tentang musyawarah dan apa
kaitannya dengan usaha mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa?
Jawab:
Di dalam alquran, bab tentang musyawarah
sangat dikedepankan. Dalam AlQuran bernama “Assyura” artinya musyawarah yang
menjadi salah satu nama surat. Surat Assyura bersifat makkiyah artinya surat
ini diturunkan di Mekkah ketika kaum muslimin masih merupakan kelompok
minoritas di tengah-tengah kesombongan kaum musyrikin Quraisy yang mayoritas.
Ketika menghadapi perang Badar, Rasul
bermusyawarah dengan kaum Muhajirin dan Anshar, setelah sepakat barulah Beliau
dan pengikutnya menuju ke medan perang. Setelah tiba di medan perang timbul
musyawarah kedua. Para sahabat semua tahu bahwa hal-hal yang berhubungan dengan
ibadah murni mereka akan taat dan patuh kepada perintah Rasullullah, namun
sebaliknya terhadap perintah yang bukan bersifat ibadah murni seperti “siasat
perang” misalnya mereka akan balik bertanya kepada Rasul.
Demikian yang dilakukan oleh Al Habbab Bin Al
Munzir, ketika Rasullullah memerintahkan berhenti para pasukan pada tempat yang
jauh dari sumber air. Lalu Habbab bertanya kepada Rasul: “Apakah perintah
berhenti di tempat ini datang dari Allah SWT yang tidak mungkin kami bantah
atau perintah ini hanyalah pendapat pribadi dalam rangka berperang dan siasat.
Rasul menjawab: ini semata-mata pendapat pribadi.
Habbab berkata lagi: Kalau begitu ya
Rasullullah tempat ini tidak pantas sebagai tempat berhenti pasukan, lebih baik
kita berhenti yang dekat dengan sumber air sebelum diduduki musuh. Rasul
menjawab, pendapat Habbab sangat tepat, lalu Rasul memerintahkan seluruh
pasukan untu berpindah ke tempat yang ditunjuk Habbab al Munzir.
Setelah perang Badar usai dan mendapat
kemenangan yang mampu menawan pasukan musuh sebanyak 70 orang, Rasul
bermusyawarah dengan para sahabat tentang perlakuan terhadap para tawanan
dengan pilihan; dibebaskan semuanya, dibunuh semuanya atau diberikan kebebasan
untuk menebus diri mereka. Tegasnya seluruh perintah yang bukan wahyu dan yang
menyangkut kepentingan orang banyak Rasul berpesan: “Antum `alamu bi umuri dunyakum” (Kamu lebih mengetahui tentang
urusan dunia kamu).
Pelaksanan hasil musyawarah pula dalam
Alquran Allah berfirman: “Dan bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam urusan
itu, maka apabila telah bulat hatimu, maka bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal.” Dengan perkataan
lain bahwa apabila keputusan hasil musyawarah telah disepakati maka dengan
ketetapan hati keputusan itu harus dilaksanakan dengan menyerahkan diri kepada
Allah. Ironinya dalam kehidupan kita meski keputusan telah diambil dengan
kesepakatan bersama, namun tak jarang hasilnya tidak berani dijalankan. Hal ini
persis seperti musyawarah tikus untuk mengetahui kedatangan kucing-musyawarah
itu digelar dengan satu kata putus yaitu dengan cara mengikat lonceng di leher
kucing. Namun ketika hasil musyawarah ini hendak dijalankan tidak seekor pun
para tikus yang bersedia mengikat lonceng di leher sang kucing---tentunya
sebuah keputusan yang sia-sia.
Untuk mempertegas ayat di atas, kita ikuti
musyawarah Rasullullah dalam menghadapi perang Uhud. Rasul bermusyawarah dengan
segenap pasukan muslim untuk menetapkan apakah musuh dihadapi dalam kota atau
diluar kota. Rasul pribadi dan sebagian para sahabat berpendapat sebaiknya
musuh dihadapi di dalam kota. Sebaliknya sebagian yang lain dan kebanyakan
suara dari kalangan para pemuda berpendapat supaya musuh dihadapi di luar kota,
pendapat ini didukung oleh massa terbanyak. Akhirnya Rasul memutuskan untuk
melawan musuh di luar kota. Sesudah Rasul memakai pakaian perang para pemuda
yang membuat usul untuk menghadapi musuh di luar kota mencabut usulnya dan mendukung
pendapat Rasul yaitu berperang di dalam kota dengan mempergunakan segala sumber
daya yang ada, fasilitas kota yang istilah sekarang sering disebut dengan
istilah “perang semesta”. Hal itu ditolak Rasul dengan mengatakan: “Tidak layak
bagi seorang Nabi apabila telah memakai pakaian perang lalu menanggalkannya
kembali sebelum Allah memberi putusan antara diri dan musuhnya. Perhatikanlah
apa yang saya perintahkan kepadamu dan turutilah dia dan kemenangan pasti
berpihak kepadamu selama kamu tetap sabar”
Semua kita wajib melaksanakan semua ketetapan
yang telah diputuskan apa pun risikonya. Intinya adalah syura telah menjadi
dasar utama dalam pemerintahan sebuah negara, inilah dasar politik pemerintahan
dan masyarakat dalam perang dan damai. Dalam Surat Asyura ayat 38 Allah
berfirman: “Dan orang-orang yang memperkenankan perintah Tuhan mereka dan
mendirikan shalat dan segala urusan mereka dan bermusyawarahlah diantara mereka
dan mereka menginfaqkan apa yang telah kami berikan.”
Ayat ini memberi gambaran bahwa musyawarah
pasti timbul dengan adanya jamaah. Setiap muslim wajib menjunjung tinggi
panggilan Tuhannya lalu mengerjakan shalat bersama-sama. Mengerjakan shalat
berjamaah harus selalu diawali dengan musyawarah, terutama dalam menetapkan
imam yang memimpin shalat berjamaah, dan dengan sabar para jamaah mau
menginfaqkan hartanya untuk kemashlahatan.
Waktu di Mekkah kaum Muslim merupakan
kelompok kecil, maka timbullah musyawarah dalam skala kecil, dan setelah di
Madinah, umat Islam telah berubah menjadi kelompok besar, maka timbullah
musyawarah dalam skala besar, masyarakat yang masih terbatas dalam kota Madinah
musyawarah dilaksanakan dalam Masjid Rasul. Rasul menganjurkan untuk terus
bermusyawarah-sampai kepada masyarakat paling kecil sekalipun seperti sekelompok
orang melakukan perjalanan untuk mengangkat seorang amir atau ketua rombongan
dengan musyawarah. Demikian pula dengan Khalifah setelah Rasullullah mengangkat
amir atau wali di wilayah Islam dengan kewajiban antara lain menghidupkan
kembali sistem aturan musyawarah ini.
Pertumbuhan dan perkembangan musyawarah Islam
hampir sama dengan pertumbuhan demokrasi di kota-kota Yunani kuno di mana
pemungutan suara dilakukan secara langsung kemudian demokrasi itupun berkembang
sesuai zaman dan tempat, ruang dan waktu. Yang sangat penting perlu diketahui
bahwa Rasul tidak meninggalkan wasiat yang rinci tentang sistem dan cara
menyusun serta melaksanakan demokrasi itu. Padahal dengan ilham Allah Rasul
telah mengetahui sepeninggal beliau Islam akan berkembang ke segenap penjuru
dunia. Allah dan Rasulnya tidak mengikat kita dengan salah satu sistem
demokrasi yang ada--karena sistem ini akan berkembang dan terus berubah.
Sebagai bahan perbandingan, bahwa Rasullullah SAW dalam bermusyawarah telah
memakai Menteri utama yaitu Abubakar dan Umar Bin Ibn Khattab dan Menteri utama
tingkat dua yaitu usman Ibn Affan dan Ali Bin Abi Thalib--kemudian ada
Menteri berenam: Saad bin Abi Waqqas, Abu Ubaidah, Zubair bin Awwan, Thalhah
bin Ubaidillah, Abdurrahman Bin Auf dan Said bin Al-ash.
Dengan demikian, karena Islam tidak mengikat
dengan salah satu sistem demokrasi maka masing-masing masyarakat Muslim bebas
memilih sistem apa yang paling sesuai dengan masyarakatnya.
Hal itu adalah musyawarah yang dibuat oleh
manusia, untuk bermusyawarah dalam system pemerintahannya dengan dirinya
sendiri, sedangkan musyawarah dalam Islam adalah tukar pendapat antara
orang-orang yang mempunyai pemikiran yang cerdas dari ahlul halli wal
aqdi, untuk sampai pada keputusan terbaik dalam menerapkan hukum Allah
atas manusia.Oleh karena itu masyarakat dalam Islam sangat mulia, karena ia
adalah perintah Allah, tidak boleh bagi penguasa menghapusnya untuk memaksakan
kekuasaannya pada manusia:
Dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. QS. Ali Imran: 156
Sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka. QS. Asssyuura: 38
Sedangkan dalam Negara yang menggunakan
undang-undang buatan manusia, seorang penguasa boleh membekukan konstitusi, dan
memberlakukan hukum darurat dengan alasan keamanan, disinilah terjadi sikap
otoriter dan kezaliman.
Oleh karena musyawarah dalam Islam bersumber
dari Tuhan, maka pemimpin muslim yang bertakwa tidak akan merasa gusar jika
mendengar kritikan dari rakyat yang mana saja, ia akan menerimanya dengan
lapang dada dan menjawabnya dengan kebesarah jiwa, sebagaimana yang dikatakan
oleh Umar bin Khattab kepada seorang wanita yang membantahnya dalam masalah
pembatasan mahar: "Umar salah dan wanita ini benar"
Komentar
Posting Komentar